Peristiwa tewasnya David Hartanto Widjaya (22), yang diduga bunuh diri setelah menusuk dosen pembimbingnya Profesor Chan Kap Luk (40), menyentakkan masyarakat Indonesia maupun Singapura. Apalagi disebut-sebut David berbuat nekat lantaran stres terlilit masalah skripsi. Seperti apa ketatnya kuliah di Singapura?
ADA dua universitas terkenal di Singapura, yaitu National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU). Kedua universitas tersebut memiliki kampus yang besar. Luas area NUS 150 Ha, sehingga dari satu fakultas ke fakultas lainnya menggunakan transportasi bus. Saya ingin berbagi pengalaman ketika kuliah di NUS program pascasarjana di Fakultas Institute of Systems Science jurusan Systems Analysis. Untuk bisa diterima di NUS tidaklah gampang, harus melalui saringan pendahuluan melalui ijazah SMP, SMA dan S-1, kemudian tes masuk dan interview. Proses seleksinya sangatlah ketat. Saya berkenalan dengan orang Vietnam ketika mengikuti ujian masuk NUS pada Juli 2007. Dia telah mengikuti ujian masuk selama 2 tahun berturut–turut, dan kala itu yang ke-3 kalinya, tetapi tetap saja tidak diterima.
Saya jadi teringat dengan ujian masuk NUS di mana saya harus menyelesaikan 100 soal terbagi dalam 4 bagian yang harus diselesaikan dalam 2 jam. Pertama kali saya melihat semua soal itu rasanya tidak mungkin bisa selesai semua, tetapi ketika saya baru selesai mengerjakan soal yang terakhir (ke-100) pas waktunya juga habis dan kalau ada yang masih menulis langsung dinyatakan fail.
Ketika saya dan teman-teman dari Indonesia berjumlah 6 orang -dari 90 mahasiswa yang diterima untuk program yang saya ambil pada 2007- NUS menempati posisi nomor 1 sebagai universitas terbaik di Asia, dan menempati urutan 19 untuk skala dunia. Tentu saja saya senang sekali bisa diterima di universitas bergengsi yang didirikan tahun 1929 itu. Tetapi tidak pernah terbayang akan betapa beratnya perjuangan yang harus saya tempuh.
Hari pertama masuk kuliah kami mendapat orientasi dan setelah makan siang langsung ada pelajaran selama 3 jam, dan hari itu juga sudah diberikan tugas kelompok. Kaget juga ketika mengetahui bahwa hari pertama kuliah saja sudah seperti ini.
Dalam briefing yang disampaikan di hari pertama masuk, dikatakan bahwa kuliah harus serius, jangan dikira kalau sudah berhasil masuk pasti lulus sampai selesai. Disampaikan juga kalau nilai rata-rata tidak mencukupi di akhir semester 2 (tidak memenuhi ketentuan kelulusan) maka harus keluar (drop-out). Oleh sebab itu kami diberi kesempatan untuk berpikir selama 1 minggu pertama masuk kuliah dan kalau ingin mundur, maka uang kuliah yang telah disetor akan dikembalikan.
Mereka tegas sekali sejak hari pertama, bahkan tidak segan–segan mengembalikan uang yang sudah diterima. Disampaikan pula bahwa kalau tidak berhasil lulus sesuai standar kelulusan maka hanya akan diberikan attendance letter.
Jadwal kuliah setiap hari (Senin–Jumat) mulai dari pukul 09.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. Waktu istirahat makan siang 1 jam saja, seperti jadwal ngantor.
Hari kedua masuk pagi–pagi sudah disuruh group discussion bersama tim yang sudah mereka pilihkan buat kami. Tim ini terdiri dari 7-8 orang, dan akan diganti setiap semester. Setiap hari ada tugas kelompok, jadi biasanya dari jam 9.00 – 12.00 dosen menjelaskan pelajaran. Dari jam 13.00 – 17.00 kami harus buat tugas kelompok, biasanya disuruh presentasi sore itu juga, tetapi jika tugasnya agak berat diminta presentasi keesokan harinya.
Ada juga tugas semester (tugas kelompok juga) yang harus dibuat, biasanya diberi waktu 2-3 minggu. Namun selama 2-3 minggu itu setiap kelompok harus kerja lembur di kampus, hingga banyak yang bahkan sampai menginap di universitas karena memang tugas–tugas yang diberikan berat dan standar yang ditetapkan sangatlah tinggi. Pernah saya pulang ke rumah pukul 01.00 dinihari, dan keesokan harus bangun pagi untuk presentasi. Begitulah tuntutan kuliah di NUS.
Bahkan minggu pertama saya mulai kuliah saja, weekend masih harus ke kampus karena harus diskusi kelompok. Jadi sebenarnya sudah hampir setiap hari saya dan teman–teman di kampus, karena hampir setiap Sabtu dan Minggu harus membuat tugas bersama kelompok. Dan rata–rata saya dan teman–teman menghabiskan 12 jam per hari di kampus, berarti pulang ke rumah hanya untuk tidur dan mandi. Bisa dibayangkan betapa stresnya harus setiap hari seperti itu, dijejali tugas–tugas yang begitu banyak.
Jujur saja, saya merasa jenuh dengan tekanan dan stres pada level yang seperti itu. Bahkan stres itu sampai terbawa mimpi, dan lucunya bukan hanya saya yang mengalaminya, teman saya pun mengalami hal serupa.
Meski kuliah begitu ketat, dosen-dosennya sangat profesional, mau memotivasi mahasiswa untuk berhasil, penilaiannya juga sangat objektif. Di sini tidak berlaku pepatah yang mengatakan: Tak kenal tak disayang. Jadi tidak ada istilah dosen killer. Hanya memang tuntutan standar belajar yang sangat tinggi yang membuat semua mahasiswa stres.
Untuk program saya, ujiannya open book yang berarti kami diperbolehkan membawa seberapa banyak buku yang kami mampu bawa. Pertama kali saya ujian, saya bawa buku banyak sekali bahkan saya membawa buku yang tidak pernah saya baca yang saya pinjam dari perpustakaan. Ternyata ketika ujian, satu buku pun tidak saya sentuh karena memang soal ujiannya banyak sekali dan berat juga sampai–sampai tidak memungkinkan untuk buka buku karena waktu tidak mencukupi dengan level dan jumlah soal seperti itu. Soal–soal ujian sengaja didesain untuk menilai sejauh mana pengertian kami dan jawaban-jawabannya pun tidak dapat kami temukan dalam buku tentunya. Ingin tertawa rasanya ketika mengingat pengalaman ujian pertama kali di NUS, saya bersusah-payah bawa buku berat–berat, ternyata saya mengerjakan ujian tanpa membuka satu buku pun. Dan yang paling mengecewakan adalah, waktu 3 jam untuk ujian tidak cukup untuk menyelesaikan semua soal, sehingga ada soal–soal terakhir yang tidak sempat saya kerjakan. Tetapi saya masih bersyukur bisa mendapat B untuk ujian pertama saya itu.
Ujian–ujian berikutnya saya sudah tidak mau bawa buku berat–berat karena saya sudah kapok dengan pengalaman ujian pertama itu.
Pada saat saya kuliah tahun 2007 biayanya S$ 6.600 (sekitar Rp 52,8 juta untuk kurs Rp 8.000) pertahun, tapi sekarang naik jadi S$ 9.900 (sekitar Rp 79,2 juta). Kami mendapat fasilitas text book, dan foto copy khusus di kelas gratis. Bahkan tersedia kopi dan teh gratis pula.
Saya bersyukur sekali bisa memiliki pengalaman kuliah seperti ini karena walaupun sangat stressful dan “full of pressures”, saya jadi terlatih untuk mengerjakan sesuatu dengan cepat, sehingga sekarang ini saya selalu mampu mengerjakan tugas kuliah S-2 saya di Xiamen University Tiongkok dengan cepat, bahkan jauh sebelum deadline-nya, karena saya sudah terbiasa dari kebiasaan di Singapura dulu. Demikianlah pengalaman saya belajar di NUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar